Mekanisme sengketa investasi dalam RCEP menghilangkan perlindungan hak rakyat dari kesewenangan investor

Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi - 02 August 2019

Siaran Pers

Mekanisme sengketa investasi dalam RCEP menghilangkan perlindungan hak rakyat dari kesewenangan investor

Jakarta, 2 Agustus 2019. Sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak menandatangani Perjanjian RCEP. Alasannya, mekanisme sengketa investasi yang diatur di dalamnya hanya akan melindungi kepentingan investor ketimbang kepentingan rakyat kecil. Untuk itu, perlindungan hak rakyat akan semakin diabaikan oleh Negara. Apalagi prioritas Presiden Jokowi dalam Visi Indonesia lima tahun mendatang difokuskan padapeningkatan investasi asing untuk pembangunan infrastruktur dan industrialisasi.

Hal ini setidaknya terlihat dari agenda legislasi nasional yang kejar tayang mengesahkan beberapa rancangan undang-undang yang berpihak pada kepentingan investasi, seperti RUU Minerba, RUU Air, RUU Pertanahan, dan lainnya. Selama ini, banyak sekali pelanggaran hak rakyat yang dilakukan oleh Negara hanya untuk memfasilitasi dan melindungi investasi yang masuk ke Indonesia. Bahkan, penegakan hukum lebih tajam ke bawah ketimbang ke atas.

“Saat ini, Pemerintah Indonesia mendorong revisi UU Ketenagakerjaan untuk menjamin investasi. Tentu revisi ini akan lebih kental dengan kepentingan investor dari pada perlindungan hak buruh. Bagaimana nasib buruh ke depan, jika keberpihakan negara tidak kepada rakyat?”, pungkas Ketua KPR, Herman Abdulrohman.

Mekanisme sengketa investasi dalam RCEP dikenal dengan istilah Mekanisme ISDS (Investor-State Dispute settlement). Dengan adanya mekanisme ISDS, Negara bisa digugat oleh investor asing ke lembaga arbitrase internasional. Gugatan ini dilakukan oleh investor jika dianggap kebijakan nasional yang dikeluarkan pemerintah merugikannya. Oleh karena itu, agar tidak digugat, Pemerintah Indonesia akan membuat kebijakan nasional yang pro terhadap investor ketimbang pro terhadap rakyat.

“Pemerintah Indonesia sesat pikir dengan memberikan jaminan perlindungan investasi asing akan linier dengan peningkatan investasi asing. Padahal Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan/OECD menyatakan tidak ada bukti yang jelas menunjukkan fakta tersebut. Justru ketakutan akan digugat oleh investor asing menjadikan Pemerintah Indonesia mengabaikan tanggung jawabnya untuk melindungi hak rakyat. Hal ini terlihat setidaknya pada kasus privatisasi air di Jakarta, di mana Pemerintah enggan memutus kontrak karena ketakutan akan digugat oleh pihak swasta. Akibatnya perempuan di Jakarta terus menderita karena harus membayar air dengan mahal dan kualitas buruk” tegas Arieska Kurniawaty, Koordinator Program Solidaritas Perempuan.

Perlindungan investasi dalam RCEP akan mengilangkan perlindungan hak rakyat dari kesewenangan investor. Fakta dari agenda pembangunan infrastruktur telah memunculkan banyak kasus perampasan lahan dan kriminalisasi petani, nelayan, dan masyarakat adat yang dilakukan oleh Negara.

“Pembangunan infrastruktur untuk pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional atau KSPN terbukti merampas kehidupan masyarakat pesisir. Lebih dari 45 ribu nelayan di kawasan pesisir Lombok Tengah dan Lombok Timur akan terampas akibat proyek kawasan pariwisata Mandalika, yang didukung penuh oleh Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB)”, terang Susan Herawati, Sekjend Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Mekanisme ISDS Merugikan Negara

Beberapa negara, termasuk negara dari anggota RCEP, mengkritik mekanisme ISDS karena merugikan. Setidaknya dari ada empat kerugian yang paling penting, yaitupertama, biaya litigasi;kedua, biaya pembayaran kompensasi;ketiga, biaya politik akibat hilangnya ruang kebijakan Negara; keempat, biaya reputasi.Indonesia sendiri telah banyak digugat oleh investor asing. Tidak hanya membebani anggaran keuangan negara, tetapi juga beberapa kebijakan pada akhirnya tidak dapat diimplementasikan.

Mayoritas kasus ISDS yang dihadapi Indonesia berasal dari investor tambang asing yang menolak mengimplementasikan kebijakan pemurnian komoditas tambang dan status CnC atas lahan tambang di Indonesia. Misalnya kasus Indonesia dengan Churcill Mining, Newmont, maupun India Metal Ferro Alloys. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti.

“Gugatan perusahaan tambang asing terhadap Indonesia telah berkontribusi terhadap terhambatnya hilirisasi industry pertambangan di Indonesia, yang akhirnya kita tidak dapat merasakan dampak positif dari investasi di sektor ini bagi kepentingan perekonomian nasional. Bahkan, kas negara terkuras banyak dari penanganan kasus ISDS. Untuk penanganan kasus Churcill Mining, negara telah mengeluarkan uang sebesar US$ 10,45 Juta, dan untuk kasus IMFA sebesar US$ 2,9 Juta. Hingga saat ini belum ada uang yang dikembalikan ke kas negara dari kemenangan yang diperoleh Indonesia”, jelas Rachmi.

Cakupan kebijakan yang bisa digugat oleh investor asing dalam ISDS bisa sangat luas, seperti, tumpang tindih pemberian ijin tambang, pelarangan ekspor bahan tambang mentah, larangan membuang bahan berbahaya, regulasi kesehatan seperti penggunaan bahan kimia berbahaya, pengendalian produk tembakau dan lainnya.

Lutfiyah Hanim dari Third World Network (TWN) mengingatkan bahwa tidak hanya di sektor tambang saja yang ditarget, tetapi mekanisme ISDS dapat merugikan hak rakyat atas kesehatan. “Contohnya adalah kasus perusahaan rokok Philip Morris yang menggugat pemerintah Australia di arbitrase internasional untuk kebijakan kemasan rokok”, terangnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, Pemerintah Australia kemudian memenangkan gugatan tersebutpada 2015 . Dari kasus tersebut, Australia mengeluarkan dana sebesar 23 juta dolar Australia, untuk biaya hukum dalam proses litigasi tersebut, sedangkan biaya arbitrasi sebesar ½ juta dolar Australia. Namun dalam keputusan arbitrasi, walaupun memenangkan kasus tersbut, 50 persen dari biaya tersebut harus ditanggung oleh pemerintah Australia, yaitu sebesar 11,7 juta dolar Australia atau sekitar 112 milyar Rupiah.

Perjanjian RCEP adalah perjanjian perdagangan bebas yang dirundingkan oleh ASEAN dengan enam negara mitranya, yaitu Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru sejak tahun 2013. Saat ini, perundingan masih belum selesai dan telah masuk pada putaran ke 26. Perundingan selanjutnya akan dilakukan di Zhengzhou China, mulai tanggal 2 August 2019.

****

Koalisi masyarakat sipil untuk Keadilan Ekonomi terdiri dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC), Solidaritas Perempuan, Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Indonesia Human Rights for Social Justice (IHCS).

Kontak Narasumber:
Arieska Kurniawaty, Solidaritas Perempuan - 081280564651
Susan Herawati, KIARA: 082111727050
Herman Abdulrohman, KPR: 082213426109
Lutfiyah Hanim, TWN:08981089129
Rachmi Hertanti, IGJ: 08174985180